Kata character berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti to engrave (melukis, menggambar), seperti orang yang melukis kertas, memahat batu atau metal. Berakar dari pengertian yang seperti itu, character kemudian diartikan sebagai tanda atau ciri yang khusus, dan karenanya melahirkan sutu pandangan bahwa karakter adalah pola perilaku yang bersifat individual, keadaan moral seseorang? Setelah melewati tahap anak-anak, seseorang memiliki karakter, cara yang dapat diramalkan bahwa karakter seseorang berkaitan dengan perilaku yang ada di sekitar dirinya (Kevin Ryan, 1999: 5).
Secara sederhana pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Thomas Lickona mengemuakakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti.
Menurut UU nomor 20 tahun 2003 disebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Ada 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter yaitu , Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif,Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli social, Tanggung jawab.
Mari kita lihat tokoh-tokoh pendidikan Indonesia yang secara tidak langsung telah mempromosikan pendidikan karakter dalam program pendidikan yang mereka gagas.
1. Suwardi Suryaningrat
Semboyan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani tidak asing lagi bagi kita warga Indonesia. Semboyan Ki Hajar Dewantara ini berarti “di depan kita memberi contoh, di tengah membangun prakasa dan bekerjasama, di belakang memberi daya-semangat dan dorongan". Semboyan ini sungguh dalam makna, dan penerapannya tidak hanya berlaku bagi pendidikan tetapi juga kepemimpinan.Suwardi Suryaningrat yang dikenal dengan Ki Hajar Dewantara adalah pelopor pendidikan karakter di sekolah. Tentu ini jauh sebelum pendidikan karakteri yang digaungkan dalam Kurikulum 2013. Pendidikan karakter ala Ki Hajar Dewantara bahkan lahir sebelum kemerdekaan yakni 3 Juli 1922.
Sebagai tokoh pergerakan kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara sadar betul bahwa saat itu masyarakat memerlukan sebuah sistem pendidikan yang bisa memerdekakan. Pendidikan harus menjadi gerbang membangun kesadaran anak bangsa tentang keadilan dan kemakmuran yang bebas dari penjajahan.
Menurut Abdurrachman Surjomihardjo dalam buku Ki Hadjar dan Taman siswa, dalam Sejarah Indonesia Modern, dikemukakan bahwa ada 5 karakter yang ditanamkan Ki Hajar Dewantara saat itu, yakni kepercayaan pada kekuatan diri, cinta kebenaran dan kemerdekaan, solidaritas, kesadaran akan kesamaan derajat, serta kepemimpinan.
Suwardi Suryaningrat lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun. Lelaki yang pernah hidup dalam pengasingan ini sadar, pendidikan karakter merupakan faktor penting dalam sebuah perubahan. Setumpuk ilmu tak akan membawa faedah apapun tanpa nilai-nilai rohani yang baik.
2. Raden Ayu Lasminingrat
Raden Ayu Lasminingrat lahir di Garut pada 1843, atau 36 tahun sebelum RA Kartini dilahirkan. Penulis dan sejarahwan Deddy Effendie menyebut Lasminingrat sebagai tokoh perempuan intelektual pertama di Indonesia. Selain menulis karyanya sendiri, dia juga banyak menterjemahkan buku-buku anak sekolah dari bahasa Belanda ke bahasa Sunda, baik menggunakan aksara Jawa maupun Latin.Hal itu tidaklah aneh mengingat Lasminingrat memang sempat diasuh teman Belanda ayahnya, Levyson Norman. Dia pun menjadi perempuan pribumi satu-satunya yang mahir menulis dan berbahasa Belanda pada masanya.
Dalam buku Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, Mikihiro Moriyama mencatat, sejak kecil, Lasminingrat bercita-cita memajukan pendidikan kaum hawa. Lalu, setelah dipinang Bupati Garut RAA Wiratanudatar VIII, dia memilih pensiun dari dunia kesusastraan dan fokus kepada pendidikan perempuan.
Pada 1907, Lasminingrat mendirikan sekolah Keutamaan Istri. Sekolah ini dianggap cukup maju karena sudah menggunakan sistem kurikulum. Materi pembelajaran diarahkan pada keterampilan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan menjahit. Dia berharap, setelah menikah, muridnya telah pandai mengurus suami dan mendidik anak-anak.
Dalam kurun empat tahun, jumlah murid Keutamaan Istri tumbuh menjadi sekitar 200 orang. Lalu, 15 ruang kelas dibangun seluruh murid dapat tertampung. Pada 1913, sekolah ini bahkan Istri mendapat pengakuan resmi dari pemerintah Hindia Belanda.
Sejarah juga mencatat, Lasminingrat adalah tokoh dibalik pendirian Sakola Istri asuhan Dewi Sartika. Jika Dewi Sartika disebut-sebut sebagai tokoh pendidikan, maka tak berlebihan jika Lasminingrat didaulat sebagai tokoh perempuan intelektual pertama Indonesia.
3. Kyai Haji Ahmad Dahlan
Di urutan ketiga adalah Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
4. Raden Adjeng Kartini
Raden Ajeng (RA) Kartini lahir di Mayong (Jepara), pada tanggal 21 April 1879. Hari kelahiranya ini sampai sekarang terus diperingati sebagai Hari Kartini. Beliau terkenal sebagai seorang tokoh yang dengan gigih memperjuangkan emansipasi wanita, yakni suatu upaya memperjuangkan hak-hak wanita agar dapat sejajar dengan kaum pria.Jenis sekolah yang dirintis dan didirikan oleh RA Kartini adalah:
1. Sekolah Gadis di Jepara, dibuka tahun 1903.
2. Sekolah Gadis di Rembang. (Hasbullah, 2001: 262).
Pada dasarnya apa yang dicita-citakan dan dilakukan oleh Kartini hanyalah sebagai perintis jalan, yang nantinya harus diserahkan oleh Kartini-kartini baru. Pada awalnya, pergerakan wanita dilakukan secara perseorangan, dan R.A. Kartini (1879-1904) adalah pelopornya. Setamat dari E.L.S. pada usia 12 tahun terus dipingit dan tidak melanjutkan sekolah karena adat istiadat yang berlaku pada masa itu. Meskipun demikian tidak memadamkan semangatnya untuk maju.
Kartini banyak belajar dari membaca buku dan surat menyurat dengan teman dan kenalanya. Atas bantuan ikhtiyar teman dan kenalanya seperti Ovink Soer dan lain-lainya, pingitan menjadi longgar. Kartini berhasrat menjadi guru untuk anak-anak perempuan para bupati yang diusulkan oleh Abendanon, tetapi gagal karena gagasan sekolah tersebut ditolak pemerintah kolonial Belanda, berdasarkan penolakan dari para bupati. Beasiswa belajar di negeri Belanda yang berhasil diajukan oleh van Kol untuk Kartini dan Rukmini, adiknya, juga tidak dapat dilaksanakan. Meskipun banyak mengalami kekecewaan. Kartini berhasil membuka Sekolah wanita yang pertama di Indonesia. (Redja Mudyahardjo, 2001:285).
R.A. Kartini meninggal dalam usia cukup muda yaitu empat hari setelah melahirkan, tepatnya tanggal 17 September 1904.
Apa pelajaran dari Tokoh-Tokoh Pendidikan tersebut
Mereka semua adalah orang-orang yang lahir dalam situasi sulit. Mereka mengarahkan diri mereka untuk memperoleh manfaat dari pendidikan, meskipun akses untuk menimba ilmu sangat sulit, langka dan mahal.Mereka mau menerapkan apa yang mereka pelajari. Tidak menganggap ilmu sebagai pengetahuan semata yang tertulis dalam kertas atau disimpan dalam pikiran. Mereka menggunakannya untuk memberdayakan diri dan orang-orang disekeliling. Ketika mereka menggunakan pengetahuan untuk memberdayakan diri dan orang-orang di sekeliling, perubahan pun terjadi. Perubahan menuju keadaan yang lebih baik, yang mencerdaskan masyarakat di sekitar mereka yang pada waktu itu dalam kungkungan penjajah untuk mencari jalan menuju kebebasan. Kebebasan berpikir yang disertai etika akan menuntun masyarakat yang adil dan sejahtera.
No comments:
Write comments