Sarimah br Manihuruk adalah seorang guru sekolah dasar yang telah mengabdi hampir 35 tahun di SD 096118 Ujung Saribu. Ibu berusia 55 tahun ini berperawakan bersahaja, namun semangat pengabdian tinggi terpancar di wajahnya yang setiap hari harus menempuh perjalanan selama 2 jam dengan perahu mesin untuk mencapai sekolah tempatnya bergelut yang terletak di tepian Danau Toba, Soping, Kecamatan Pamatang Silimakuta, Kabupaten Simalungun.
Sarimah mengajar kelas 1 sampai dengan kelas 6. Meski sudah sering ditawari jabatan kepala sekolah, entah mengapa ibu guru serba bisa ini enggan menerima tawaran tersebut. Padahal ia sudah mengabdi sejak Desember 1980 di sekolah yang sama SD 096118 Ujung Saribu, Soping.
Ia menuturkan bahwa tidak ada guru yang sebetah dirinya mengajar di sekolah terpencil itu. Dalam lima tahun terakhir SD 096118 Ujung Saribu, Soping hanya memiliki dua orang guru, dengan jumlah murid 48 orang. Namun setahun terakhir ada pertambahan guru menjadi 3 orang. Selain Sarimah br Manihuruk, guru serbabisa lainnya adalah Bungainim br Sinaga. Keduanya harus berjibaku untuk mengajarkan delapan mata pelajaran kepada 48 anak didik dari kelas 1 hingga kelas 6.
Selanjutnya penuturan Sarimah, ia mengaku prihatin melihat kondisi sekola, ditambah tenaga pengajar yang tidak pernah meningkat di sekolah tersebut. Menurutnya, tidak ada guru yang mau tinggal di Desa Soping, karena alasan jauh dari tempat tinggal. “Kami setiap hari harus menempuh perjalanan 10 km dari Desa Hutaimbaru untuk mencerdaskan anak bangsa di desa pesisir danau ini. Perhatian pemerintah hingga kini belum ada,”ujar Sarimah.
Diakui Sarimah bahwa 2 orang guru tentu kewalahan mendidik 48 murid di SD Soping tersebut. Dengan berbekal ilmu pendidikan dari lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Pematang Raya, tahun 1979, dirinya berusaha untuk mengetahui kurikulum 8 mata pelajaran.
Diakuinya, penerapan Kurikulum 2013 di SD itu tentu tidak mudah dilakukan mengingat keterbatasan tenaga guru. “Saya kadang meneteskan air mata saat memberikan pelajaran kepada anak didik. Saya prihatin dengan masa depan 48 anak didik ini. Dengan berbekal dua guru, bagaimana kualitas anak didik ini kelak? Hal ini sudah dilaporkan ke Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun, namun belum ada tanggapan kata ibu dari 4 orang anak ini.
“Saya sudah sering dipaksa jadi kepala sekolah di SD Soping, namun saya tolak. Saya cumin tamat SPG, bagaimana pula saya kepala sekolah sementara guru hanya ada dua orang. Hal ini yang membuat saya sedih. Agar tidak berdosa makan uang rakyat, saya tetap konsisten dalam pengabdian sebagai guru delapan mata pelajaran dari kelas satu hingga kelas enam,” ujar Sarimah.
Menurut Sarimah, seperti dituturkan pada beritasimalungun.com, warga Desa Soping tidak banyak menuntut soal kekurangan guru di SD Soping. “Orangtua murid hanya bisa melapor kalau kita ngak masuk. Kalau soal kekurangan guru ini tidak mereka tanggapi. Orang tua murid hanya menyerahkan pendidikan anaknya kepada dua orang guru,”katanya.
Sementara itu, kondisi tragis dan ironis juga dihadapi SD Inpres 091383 Desa Hutaimbaru, Kelurahan Bangun Mariah, Kecamatan Pematang Silimakuta, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Desa Hutaimbaru bisa ditempuh dari dua arah yakni dari Desa Haranggaol dan Desa Tongging dengan tranportasi kapal kayu mesin.
Jarak tempuh perjalanan normal dari ibukota Kabupaten Simalungun, Pematang Raya ke Desa Hutaimbaru memakan waktu kurang lebih 3 jam. Letak desa ini percis di pinggir Danau Toba. Jumlah penduduk sekitar 50 kepala keluarga (KK) dan jumlah anak didik SD sekitar 30 orang.
Kini bangunan SD Inpres 091383 Hutaimbaru kondisinya memprihatinkan. Kini SD Inpres Hutaimbaru tinggal kenangan. Bangunan yang dulunya megah dan permanen, kini tinggal kerangka. Bahkan tiga gedung utama sebagai ruangan kelas hancur tanpa isi. Seluruh bangku, meja dan arsip buku-buku lenyap tak tahu rimbanya.
Disaat pemerintah gencar meningkatkan mutu pendidikan, namun dunia pendidikan di desa pesisir Danau Toba justru merana. Program pemerintah meningkatkan mutu pendidikan wajib belajar sembilan tahun di tingkat perkotaan boleh saja dibilang maju.
Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) juga digalakkan guna memberantas buta aksara. Namun pembangunan pendidikan di pedesaan kerap terabaikan karena kurang perhatian pemerintah setempat.
SD Inpres 091383 Desa Hutaimbaru, salah satu contoh merananya dunia pendidikan ditingkat pedesaan. SD ini luput dari perhatian pemerintah. SD Inpres Hutaimbaru tahun 1965-1990, berkembang pesat, dan menjadi pioner sekolah dasar di pesisir Danau Toba Kabupaten Simalungun.
Bangunan SD Hutaimbaru dibangun tahun 1965 oleh St Efraim Manihuruk/ RP br Haloho. Bahkan St Efraim Manihuruk sebagai guru pertama di SD Hutaimbaru dan kemudian ada guru Jasalmon Sinaga.
Memasuki tahun 1991, SD Hutaimbaru justru tutup dengan alasan guru tak ada yang betah tinggal di Desa Hutaimbaru. Sepuluh tahun sudah sekolah kebanggan masyarakat Hutaimbaru itu tutup. Padahal kini ada sekitar 30 anak didik wajib belajar di desa tersebut.
Tahun 1965 hingga tahun 1990an, SD Hutaimbaru merupakan sekolah SD utama untuk empat desa tetangga. Seperti Desa Soping, Soping Sabah, Nagori Purba dan Hutaimbaru sendiri.
“Sekolah SD Hutaimbaru tahun 1990 ada sebanyak 7 guru sekolah. Namun kini sekolah kebanggan warga Desa Hutaimbaru itu tinggal kenangan. Alasan guru tidak betah, membuat pemerintah menutup sekolah ini,”kata Tuahman Purba, tokoh masyarakat setempat.
Menurut Tuahman Purba yang juga menjabat Pengantar Jemaat GKPS Hutaimbaru ini, tutupnya sekolah SDN Hutaimbaru 11 tahun lalu, karena tidak ada guru. Penempatan guru yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Simalungun hanya bisa bertahan sekitar tiga bulan.
“Alasan para guru karena jaraknya jauh dari ibukota Kecamatan, Saribudolok. Kemudian tempat mengajar tergolong desa terisolir. Banyak guru yang sudah ditempatkan di desa ini pindah. Mereka melakukan segala cara yang penting pindah dari desa ini,”katanya.
Tokoh masyarakat dan juga Perutusan Sinody Bolon GKPS Resort Tongging selama 15 tahun, St Berlin Manihuruk menambahkan, ada sekitar 30 anak wajib belajar SD di desa tersebut. Kini anak didik itu harus berjalan kaki sepanjang lima kilo meter lebih untuk menempuh sekolah SD desa tetangga yakni Soping dan SD Nagori Purba.
“Orang tua murid sudah berulang kali mengajukan permohonan untuk membuka kembali SDN Hutaimbaru. Namun alasan dari pihak kecamatan, muridnya terlampau sedikit dan guru tidak ada yang mau berdomisili di desa ini. Ini yang menjadi persoalan. Bahkan warga desa berencana untuk meratakan bangunan dengan tanah untuk dijadikan areal pesta,”katanya.
Disebutkan, sudah ada dua SD di pesisir Danau Toba Kabupaten Simalungun yang tutup. Selain SD Hutaimbaru kemudian SD Inpres Desa Baluhut, Kecamatan Pematang Silimahuta, Simalungun.
Tetap Tersenyum: Demi pengabdian kepada anak bangsa, Sarimah br Manihuruk rela mengajar 48 anak didik yang terdiri dari kelas satu hingga kelas enam di SD 096118 Ujung Saribu, Soping, Kecamatan Pamatang Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Tampak Sarimah br Manihuruk saat berangkat ke sekolah dengan menggunakan perahu kayu mesin.
Sumber: simalungunberita.com
Foto: asenk lee saragih
![]() |
Sarimah br Manihuruk dalam perjalanan menuju SD 096118 Ujung Saribu, Simalungun |
Sarimah mengajar kelas 1 sampai dengan kelas 6. Meski sudah sering ditawari jabatan kepala sekolah, entah mengapa ibu guru serba bisa ini enggan menerima tawaran tersebut. Padahal ia sudah mengabdi sejak Desember 1980 di sekolah yang sama SD 096118 Ujung Saribu, Soping.
Ia menuturkan bahwa tidak ada guru yang sebetah dirinya mengajar di sekolah terpencil itu. Dalam lima tahun terakhir SD 096118 Ujung Saribu, Soping hanya memiliki dua orang guru, dengan jumlah murid 48 orang. Namun setahun terakhir ada pertambahan guru menjadi 3 orang. Selain Sarimah br Manihuruk, guru serbabisa lainnya adalah Bungainim br Sinaga. Keduanya harus berjibaku untuk mengajarkan delapan mata pelajaran kepada 48 anak didik dari kelas 1 hingga kelas 6.
Selanjutnya penuturan Sarimah, ia mengaku prihatin melihat kondisi sekola, ditambah tenaga pengajar yang tidak pernah meningkat di sekolah tersebut. Menurutnya, tidak ada guru yang mau tinggal di Desa Soping, karena alasan jauh dari tempat tinggal. “Kami setiap hari harus menempuh perjalanan 10 km dari Desa Hutaimbaru untuk mencerdaskan anak bangsa di desa pesisir danau ini. Perhatian pemerintah hingga kini belum ada,”ujar Sarimah.
Diakui Sarimah bahwa 2 orang guru tentu kewalahan mendidik 48 murid di SD Soping tersebut. Dengan berbekal ilmu pendidikan dari lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Pematang Raya, tahun 1979, dirinya berusaha untuk mengetahui kurikulum 8 mata pelajaran.
![]() |
Siswa-siswi SD 096118 Ujung Saribu sedang menunggu kedatangan guru mereka. |
Diakuinya, penerapan Kurikulum 2013 di SD itu tentu tidak mudah dilakukan mengingat keterbatasan tenaga guru. “Saya kadang meneteskan air mata saat memberikan pelajaran kepada anak didik. Saya prihatin dengan masa depan 48 anak didik ini. Dengan berbekal dua guru, bagaimana kualitas anak didik ini kelak? Hal ini sudah dilaporkan ke Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun, namun belum ada tanggapan kata ibu dari 4 orang anak ini.
“Saya sudah sering dipaksa jadi kepala sekolah di SD Soping, namun saya tolak. Saya cumin tamat SPG, bagaimana pula saya kepala sekolah sementara guru hanya ada dua orang. Hal ini yang membuat saya sedih. Agar tidak berdosa makan uang rakyat, saya tetap konsisten dalam pengabdian sebagai guru delapan mata pelajaran dari kelas satu hingga kelas enam,” ujar Sarimah.
Menurut Sarimah, seperti dituturkan pada beritasimalungun.com, warga Desa Soping tidak banyak menuntut soal kekurangan guru di SD Soping. “Orangtua murid hanya bisa melapor kalau kita ngak masuk. Kalau soal kekurangan guru ini tidak mereka tanggapi. Orang tua murid hanya menyerahkan pendidikan anaknya kepada dua orang guru,”katanya.
Sementara itu, kondisi tragis dan ironis juga dihadapi SD Inpres 091383 Desa Hutaimbaru, Kelurahan Bangun Mariah, Kecamatan Pematang Silimakuta, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Desa Hutaimbaru bisa ditempuh dari dua arah yakni dari Desa Haranggaol dan Desa Tongging dengan tranportasi kapal kayu mesin.
Jarak tempuh perjalanan normal dari ibukota Kabupaten Simalungun, Pematang Raya ke Desa Hutaimbaru memakan waktu kurang lebih 3 jam. Letak desa ini percis di pinggir Danau Toba. Jumlah penduduk sekitar 50 kepala keluarga (KK) dan jumlah anak didik SD sekitar 30 orang.
Kini bangunan SD Inpres 091383 Hutaimbaru kondisinya memprihatinkan. Kini SD Inpres Hutaimbaru tinggal kenangan. Bangunan yang dulunya megah dan permanen, kini tinggal kerangka. Bahkan tiga gedung utama sebagai ruangan kelas hancur tanpa isi. Seluruh bangku, meja dan arsip buku-buku lenyap tak tahu rimbanya.
Disaat pemerintah gencar meningkatkan mutu pendidikan, namun dunia pendidikan di desa pesisir Danau Toba justru merana. Program pemerintah meningkatkan mutu pendidikan wajib belajar sembilan tahun di tingkat perkotaan boleh saja dibilang maju.
Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) juga digalakkan guna memberantas buta aksara. Namun pembangunan pendidikan di pedesaan kerap terabaikan karena kurang perhatian pemerintah setempat.
SD Inpres 091383 Desa Hutaimbaru, salah satu contoh merananya dunia pendidikan ditingkat pedesaan. SD ini luput dari perhatian pemerintah. SD Inpres Hutaimbaru tahun 1965-1990, berkembang pesat, dan menjadi pioner sekolah dasar di pesisir Danau Toba Kabupaten Simalungun.
Bangunan SD Hutaimbaru dibangun tahun 1965 oleh St Efraim Manihuruk/ RP br Haloho. Bahkan St Efraim Manihuruk sebagai guru pertama di SD Hutaimbaru dan kemudian ada guru Jasalmon Sinaga.
Memasuki tahun 1991, SD Hutaimbaru justru tutup dengan alasan guru tak ada yang betah tinggal di Desa Hutaimbaru. Sepuluh tahun sudah sekolah kebanggan masyarakat Hutaimbaru itu tutup. Padahal kini ada sekitar 30 anak didik wajib belajar di desa tersebut.
Tahun 1965 hingga tahun 1990an, SD Hutaimbaru merupakan sekolah SD utama untuk empat desa tetangga. Seperti Desa Soping, Soping Sabah, Nagori Purba dan Hutaimbaru sendiri.
“Sekolah SD Hutaimbaru tahun 1990 ada sebanyak 7 guru sekolah. Namun kini sekolah kebanggan warga Desa Hutaimbaru itu tinggal kenangan. Alasan guru tidak betah, membuat pemerintah menutup sekolah ini,”kata Tuahman Purba, tokoh masyarakat setempat.
Menurut Tuahman Purba yang juga menjabat Pengantar Jemaat GKPS Hutaimbaru ini, tutupnya sekolah SDN Hutaimbaru 11 tahun lalu, karena tidak ada guru. Penempatan guru yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Simalungun hanya bisa bertahan sekitar tiga bulan.
“Alasan para guru karena jaraknya jauh dari ibukota Kecamatan, Saribudolok. Kemudian tempat mengajar tergolong desa terisolir. Banyak guru yang sudah ditempatkan di desa ini pindah. Mereka melakukan segala cara yang penting pindah dari desa ini,”katanya.
Tokoh masyarakat dan juga Perutusan Sinody Bolon GKPS Resort Tongging selama 15 tahun, St Berlin Manihuruk menambahkan, ada sekitar 30 anak wajib belajar SD di desa tersebut. Kini anak didik itu harus berjalan kaki sepanjang lima kilo meter lebih untuk menempuh sekolah SD desa tetangga yakni Soping dan SD Nagori Purba.
“Orang tua murid sudah berulang kali mengajukan permohonan untuk membuka kembali SDN Hutaimbaru. Namun alasan dari pihak kecamatan, muridnya terlampau sedikit dan guru tidak ada yang mau berdomisili di desa ini. Ini yang menjadi persoalan. Bahkan warga desa berencana untuk meratakan bangunan dengan tanah untuk dijadikan areal pesta,”katanya.
Disebutkan, sudah ada dua SD di pesisir Danau Toba Kabupaten Simalungun yang tutup. Selain SD Hutaimbaru kemudian SD Inpres Desa Baluhut, Kecamatan Pematang Silimahuta, Simalungun.
Tetap Tersenyum: Demi pengabdian kepada anak bangsa, Sarimah br Manihuruk rela mengajar 48 anak didik yang terdiri dari kelas satu hingga kelas enam di SD 096118 Ujung Saribu, Soping, Kecamatan Pamatang Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Tampak Sarimah br Manihuruk saat berangkat ke sekolah dengan menggunakan perahu kayu mesin.
Sumber: simalungunberita.com
Foto: asenk lee saragih
I wanna come
ReplyDeleteTerimakasih atas niatnya, menjadi guru yg berbakti. Sukses ya mbak.
ReplyDelete